HASILWIN – Kisah Haru Dokter Kandungan tentang Kegagalan Menyusui

Setiap Bunda tentu memiliki keinginan untuk menyusui secara full pada bayinya. Ketika hal tersebut bisa jadi gagal dalam perjalanannya, tentunya kekecewaan menggelayuti. Seperti halnya kisah haru dokter kandungan tentang kegagalan menyusui yang dialaminya.
Rasanya memang ironis ya, Bunda, mendengar bahwa seorang dokter kandungan yang merupakan ahli dan kerap menasihati banyak pasien mengenai manfaat menyusui bagi ibu dan bayi justru mengalami kegagalan menyusui anaknya sendiri.
Adalah Maliha Sayla, sosok dokter kandungan-ginekologi, di DuPage Health Specialist di Lisle yang memiliki kisah miris tersebut, Bunda.
Melansir dari laman Npr, sang dokter hanya menyusui putrinya, Safiya, selama satu bulan saja. Dan juga putranya bernama Haider yang hanya disusuinya selama satu minggu saja. “Saya gagal menyusui,”katanya.
Saat dirinya mengulas ulang, perjuangannya memang penuh haru biru dalam memperjuangkan keinginannya menyusui Si Kecil. Setelah kehamilan dan persalinan yang dilaluinya dengan mudah, ia begitu bersemangat menjalin bonding dengan Safiya. Tetapi kenyataan yang muncul justru sangat pahit, Bun.
Safiya tidak berhasil menyusu meskipun sang dokter sudah berusaha untuk menyusuinya secara maksimal. “Saya tahu dia akan segera melakukannya. Saya menempelkannya ke payudara setiap dua jam sampai dia menyerah dan tertidur,” ungkapnya.
Namun, perjuangan yang dialaminya ternyata memang cukup berat, Bunda. Saat ia pulang bersama Safiya setelah dua hari kelahiran putrinya tersebut, kenyataannya Safiya masih juga belum bisa menyusu dengan baik.
Sang dokter pun tak putus asa begitu saja. Ia kemudian memompa ASI dan memberikan susu formula sejak dini. Saat itu, kisahnya, ia masih menjadi mahasiswa kedokteran tahun keempat dan ia punya waktu satu bulan untuk belajar guna persiapan ujian kedua dan tiga ujian yang diwajibkan untuk memperoleh lisensi kedokteran.
Jadi, ia memutuskan untuk memompa ASI secara eksklusif dan memberikan ASI perah tersebut dari botol pada anaknya. “Saya memompa ASI setiap jam untuk membantu meningkatkan pasokan ASI, menyimpan ASI perah pada jam-jam ganjil, dan memberikan ASI perah pada jam-jam genap. Setelah sesi menyusui, saya juga memberikan anak susu formula sebagai tambahan,” imbuhnya.
Dituturkannya lebih lanjut bahwa dari pukul 10 malam hingga 6 pagi, ia memanfaatkan waktu untuk belajar di sela-sela waktu menyusui dan saat seluruh keluarganya sudah tertidur. “Pada pukul 6 pagi, ibu mertua saya, yang pindah bersama saya untuk membantu mengurus bayi, menggendong Safiya dan memberikan ASI dan susu formula yang disimpan ketika saya tidur. Pada pukul 10 pagi, saya bangun dan melanjutkan siklus memompa dan menyusui,” ujarnya.
Dari pengalamannya tersebut, sang dokter pun jadi lebih bijak dalam memandang keputusan ibu-ibu di luar sana saat ingin berhenti menyusui. “Jika kalian memutuskan untuk berhenti menyusui, izinkan saya memberi kalian izin untuk melakukannya. Kalian tidak akan kehilangan peran sebagai seorang ibu, dan anak kalian akan baik-baik saja,” tuturnya.
Ia pun mengakui bahwa perannya tidaklah mudah. Termasuk pada saat ia mengikuti ujian, ia mengalami kelelahan dan frustasi. Ia mengaku bahwa setiap menit pompa terpasang di tubuhnya, tetapi Safiya tidak.
“Saya tidak dapat menikmati bonding yang seharusnya diberikan dari menyusui dan bahkan mulai membenci Safiya karena tidak dapat menyusu dengan lebih baik. Saya memutuskan untuk berhenti memompa dan hanya memberikan susu formula. Meskipun saya merasa lega menjalani kehidupan yang lebih normal, saya terus meratapi kenyataan bahwa saya tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menyusui anak saya,” bebernya.
Saat dirinya diberikan peran untuk hamil lagi, ia pun bertekad untuk berhasil di tempat yang sebelumnya tidak pernah ia duga. Saya sendiri merupakan seorang dokter residen tahun keempat di bidang kebidanan dan ginekologi, dan tahu lebih banyak tentang menyusui.
“Saya akan menjalani persalinan pada bulan Juli, tepat setelah llulus, dan baru akan mulai bekerja pada November. Selama empat bulan penuh, satu-satunya pekerjaan saya adalah menyusui. Saya tidak akan terjebak dalam pemberian susu formula terlalu dini,”katanya.
Namun, rencana memang hanya sekadar wacana semata ya, Bunda. Realitasnya, antusiasme sang dokter langsung luntur setelah melahirkan. Ketika putranya, Haider juga mengalami kesulitan yang sama seperti Safiya, ia pun jadi merasa bersalah.
Setiap jam yang dihabiskannya di payudaranya, ia akan menyusu sekitar satu hingga dua menit. Dan, pada usia 3 hari, ia mulai menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dengan gejala bibir kering, berat badan turun, dan popoknya tidak basah.
Ia kemudian menelpon dokter anak Haider dan mendengarkannya secara saksama. Dengan nada lembut, dokter anak tersebut menasihati saya bahwa ia khawatir Haider mengalami dehidrasi yang berbahaya. Dan, bahwa pada titik ini, ia harus mempertimbangkan susu formula sebagai penambah nutrisi.
“Kami memutuskan untuk menyusui selama 20 hingga 30 menit di setiap payudara, kemudian memompa selama 20 menit di setiap payudara dan memberikan ASI perah, kemudian memberikan susu formula. Saya harus mengulangi proses ini setiap dua jam. Dan, tidur tidak termasuk dalam perhitungan ini,” akunya.
Dengan upaya tersebut, Haider memang mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan meskipun menyusuinya menyita waktu sepanjang hari. Bahkan, ia dan suami rela mengirim Saifya ke rumah ibu karena kami tidak dapat mengurusnya sambil berusaha menyusui Haider. Selain itu, dirinya juga melarang pengunjung hadir terutama karena dirinya tidak dapat bertahan selama satu jam tanpa menangis.
Keesokan harinya, ia sempat bertemu dengan konsultan laktasi. Setelah berdiskusi dengan beliau selama kurang lebih satu jam, ia membuat daftar diagnosis seperti puting susu tertarik, suplai ASI buruk, frenulum, perlekatan yang tidak baik, adanya penurunan berat badan yang berlebihan, dan sebagainya.
Tetapi, realita yang muncul memang jauh dari ekspektasi ya, Bunda. Sang dokter pun pulang dengan perasaan putus asa. Gunung yang perlu dia daki untuk menyusui semakin curam.
“Saya mulai membenci setiap selebritas yang mengunggah foto dirinya yang cantik sedang menyusui anaknya. Dan, setiap selebritas menyebut menyusui sebagai hal yang paling indah dan alami di dunia.
Di luar semua perjuangan tersebut, sebagai dokter kandungan saya juga tetap merekomendasikan pemberian ASI eksklusif kepada semua pasien saya. Namun, di sinilah kemudian kisah gagal total memberikan hikmah.
“Saya tidak hanya merasa seperti ibu yang buruk, saya juga merasa seperti dokter yang buruk. Saya bahkan tidak dapat mengikuti anjuran saya sendiri. Saya kemudian membenci Haider, sama seperti saya membenci Safiya, karena mereka tidak bisa menyusu. Saya marah karena tubuh saya tidak mampu lagi dan saya juga tidak mampu merawat anak saya. Saya merindukan Safiya,” katanya.
Ia menceritakan bahwa dirinya baru-baru ini menemui seorang pasien yang mengalami kesulitan menyusui. “Saya menceritakan perjuangan saya sendiri dan menyarankan strategi yang mungkin dapat membantu. Akhirnya, saya katakan padanya, jika kalian memutuskan untuk berhenti menyusui, izinkan saya melakukannya. Kalian tidak akan kehilangan peran sebagai seorang ibu, dan anak kalian akan baik-baik saja.”
Setelah beberapa bulan kemudian, saya kembali menemui pasien tersebut. Ia mengatakan bahwa betapa dukungan saya sangat berarti baginya dan bagaimana dukungan itu membantunya menerima kenyataan bahwa ia tidak dapat menyusui.
“Saya berharap bahwa sebagai penyedia layanan kesehatan, kalian dapat menemukan cara untuk menciptakan lingkungan yang mendukung untuk menyusui, sekaligus mendukung para perempuan yang tidak dapat menyusui.
Apa pun permasalahannya, ada baiknya Bunda tetap semangat mengASIhi. Semoga informasinya membantu ya, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(pri/pri)
Leave a Reply